Konsep Dasar
A. Definisi
- Benigna prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat. (Yuliana elin,2011).
- BPH (benigna prostat hiperplaso) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas ke dalam kandung kemih dan menyumbat ali ran urin dengan cara menutupi orifisiumuretra.
B. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversitestosteron yang menjadi
estrogen di jaringan adiposa perifer. Namun, hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya
perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
b. Peranan dari growth
factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.
c. Meningkatnya
lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
d. Teori sel stem,
menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya
dikemukakan beberapa teori :
§ Teori Sel Stem,
sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor
usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem
dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar
periuretral.
§ Teori kedua
adalah teori Reawekering (Neal,1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat
tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
§ Teori lain
adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya
umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi
testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).
C. Patofisiologi
§ Pathway
·
Patofisiologi
Sebagian besar
(80%) laki-laki usia diatas 50 tahun menderita Bp. H tetapi kebanyakan tanpa gejala.
Hanya 10% saja yang menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis yang
pertama timbul adalah manifestasi dari adanya obstruksi. Obstruksi yang
ditimbulkan oleh pembesaran prostat menyebabkan tahanan di
uretra prostatika meningkat sehingga muskulus detrusor
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Hal ini menyebabkan hipertropi pada muskulus detrusor. Pada pemeriksaan sistoskopi ini akan terlihat sebagai trabekulasi dan adanya selulit.
Lama-kelamaan terjadi gangguan pada persyaratan buli-buli sehingga timbul gejala intatif. Suatu saat muskulus detrasor tidak mampu lagi memompa urin (dekompensasi) dan terjadilah retensi urin. Kadang–kadang muskulus detrusor
kemampuan kontraksinya terbatas,
artinya sebelum buli-buli kosong kontraksinya sudah berhenti,
maka dalam buli-buli akan tersisa urin (rest urin). Diduga Penyebab dari BPH yang
berperan adalah perubahan keseimbangan hormonal, dimana ratio estrogen
testosterone meningkat.
D. Tanda
dan Gejala
§ Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus(intermittency),
dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
§ Gejala iritasi, terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
E. Komplikasi
Komplikasi
yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya
BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat.
Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati,
dapat mengakibatkan gagal ginjal (Corwin, 2000)
Kerusakan traktusurinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesikourinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesikaurinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang
dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
F. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien
dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis:
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya
belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptoralfa seperti alfazosindanterazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasiprostat. Sedikit pun kekurangannya adalah
obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II
merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra
(transuretra)
c) Stadium III
Pada stadium II
reseksiendoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar,
sehinga reseksi tidakakan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan
terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesika,
retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV
yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Menurut
Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:
A. Observasi
Kurangi minum
setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol,
tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
B. Medikamentosa
§ Penghambat alfa
(alpha
blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1,
dan prostat memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang
berperan dalam mengecilnya prostat dan leherbuli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor
α1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan
subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom) BPH
pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya.
§ Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase
inhibitors)
Finasteride adalah penghambat
5α-Reduktase yang
menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitelprostat,
yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama
6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan
perbaikan gejala-gejala.
§ Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat
alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien
yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang
berlangsung.
§ Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada
BPH telah popular di
Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui,
efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji.
C. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bilaretensi urin berulang,
hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang,
divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
§ TURP (Trans Uretral Resection
Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop
yang dimasukkan malalui uretra.
§ Prostatektomi Suprapubis
Yaitu
pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih
§ Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisipada
abdomen bagian bawah melalui fosaprostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
§ Prostatektomi Peritoneal
Yaitu
pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum
dan rektum.
§ Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen
bagian bawah, uretra dianastomosiskan keleher kandung kemih pada kanker prostat.
D. Terapi Invasif Minimal
§ Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan kekelenjar prostat melalui antena yang
dipasang melalui/ pada ujung kateter.
§ Trans Uretral Ultrasound Guided
Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
§ TransUretral
Ballon Dilatation (TUBD)
G. DISCHARGE PLANNING
Berhenti merokok
Biasakan hidup bersih
Makan makanan yang banyak mengandung vitamin dan hindari
minuman beralkohol
Berolah raga secara rutin dan berusaha untuk
mengendalikan stress
Menilai dan mengajarkan pasien untuk melaporkan
tanda-tanda hematuria dan infeksi
Jelaskan kompliaksi yang mungkin muncul pada BPH
Anjurkan pasien untuk menghindari konsumsi obat-obatan
yang mengganggu berkemih
Mendorong untuk selalu check up
--------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Jong, Wim de, danSyamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu
Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar
Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
Sjamsuhidayat ,
R . 1997 . Buku Ajar Ilmu Bedah . Jakarta : EGC.
MansjoerArif, Suprohaito,
KapitaSelektaKedokteranjilid 2 edisi ketiga. Jakarta : penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, 2000.
Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000.
Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby: Philadelphia
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing
Interventions Classification (NIC). Mosby: Philadelphia
Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan
Clasification, 2001-2002, Philadelphia, USA